Ketika
TK, aku berpikir kalau jadi dewasa itu pasti enak. Bisa kesana kemari, pergi
jauh, naik motor sendiri, badannya tinggi, dan bicaranya sudah matang. Ketika
TK, aku berpikir alangkah enaknya kalau sudah dewasa, mungkin tidak pernah kena
marah dari ibu dan bapak setiap hari. Coba rasanya jadi anak TK, mau melakukan
ini salah, itu salah, tidak boleh main ini, itu, semuanya dilarang.
Namun,
kini aku sudah dewasa. Benar-benar hampir di usia berkepala 2. Dan kurasa
pemikiranku ketika TK itu salah besar. Aku yang dewasa ini bukannya enak. Tapi,
aku malah semakin payah. Payah dalam bertanggung jawab, dalam bertingkah laku,
dalam bertata krama, semuanya payah. Bagaimana tidak? Ternyata dewasa ini
membutuhkan berbagai aspek pemikiran agar dinilai benar. Dan jika kami seorang
dewasa salah, jangankan mau menutup muka dengan kantong plastik hitam agar tak
malu, bahkan kantong plastik hitam pun tak ada yang mau menutupinya. Ternyata
menjadi dewasa itu, semuanya, blak-blakan. Tidak bisa tertutupi sedikitpun kejelekan
kita.
Entah
kenapa, semenjak aku kuliah, tepatnya menjadi seorang perantau nun jauh disini,
aku selalu memikirkan bagaimana hidupku nanti? Bersama kedewasaanku yang masih
payah ini. Kadang aku berpikir, adakah anak lain yang sama masalahnya denganku?
Benar-benar lah aku takut, bagaimana nanti menghadapi kuliahku, tugasku,
penelitianku, skripsiku kelak, dan mungkin pekerjaanku nantinya.
Ibuku
pernah bilang, semua itu sebenarnya tak perlu dipikirkan. Jalani saja sesuai
hatimu. Jika memang rejeki, semuanya akan datang kemari. Datang dengan sepenuh
hati, asalkan kita sebagai pemilik hati ini bisa melakukannya dengan ikhlas dan
niat yang bertanggung jawab. Namun, perkataan ibu tak semudah itu kuterima. Aku
disini, di perantauan, membawa segenggam kepercayaan dari kedua orang tuaku,
justru semakin takut. Aku takut sekali bagaimana jika suatu saat aku
mengecewakan ibuku, ayahku, adik-adikku. Tapi kupikir kembali, sampai kapan aku
harus terdiam dengan ketakutanku ini. Tak penting takut jenis apa yang hinggap di
pikiranku. Dan dengan sekuat tenaga, aku mencoba bangkit. Bangkit menjadi sosok
dewasa dengan bahu tegap dan mata berpandang lurus, percaya bahwa aku,
perempuan dengan usia hampir berkepala dua, bisa memegang amanat seorang yang
dewasa. Dewasa yang bertanggung jawab, yang menjalani semuanya dengan gembira,
niat, dan hati ikhlas. Mungkin aku bisa menjadi tua, karena itu harus. Tetapi
aku belum tentu bisa menjadi dewasa, karena dewasa adalah pilihan. Pilihan
untuk meneruskan hidup pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Tua itu pasti. Dewasa itu
pilihan.”