November 05, 2018

MENJELAJAH GUNUNG CIREMAI, SANG IBU PERTIWI


Menjelajah alam merupakan suatu tantangan yang tidak pernah membosankan, justru semakin lama bersentuhan dengan alam, maka semakin cinta dengan alam di Indonesia ini. Indonesia yang kaya dengan berbagai alamnya, mulai dari pantai, gunung, hingga hutan pun menarik untuk dieksplorasi. Pernah mendengar soal kebakaran hutan di wilayah Gunung Ciremai? Yap! Salah satu gunung dengan ketinggian kurang lebih 3.078 meter di atas permukaan laut itu menjadi salah satu daftar gunung dengan kawasan hutannya yang sering terjadi kebakaran. Kali ini, gue bakal cerita tentang perjalanan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dengan sejuta pesonanya, dan sejuta kenangannya.

Sekilas tentang Gunung Ciremai yang merupakan salah satu gunung dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ini memiliki banyak cerita. TNGC yang menjadi wilayah Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan, Jawa Barat dan ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004 ini memiliki luas sebesar 15.859,17 hektar. Statusnya sebagai taman nasional memiliki visi sebagai sumber air utama untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Didorong pula dengan tiga misi lainnya yakni memantapkan perlindungan dan pengamanan, pengelolaan konservasi, dan rehabilitasi kawasan TNGC. Kawasan TNGC pun memiliki pembagian zonasi yang terdiri dari zona perlindungan, zona pengawetan atau konservasi, dan zona pemanfaatan. Masing-masing zona tersebut memiliki aturan khususnya dalam hal akses. TNGC yang berlokasi di dua kota yakni Kuningan dan Majalengka itu berbatasan langsung dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, adanya zonasi pada TNGC juga membatasi akses masyarakat sekitar terhadap sumberdaya yang ada di TNGC.

Fyi, gue pergi kesini bersama dengan teman kuliah gue beserta dosennya dalam rangka praktikum mata kuliah Manajemen Kawasan Konservasi..

Perjalanan kami dimulai pada Sabtu, 5 Mei 2018. Berangkat dari Bogor pukul 03.30 dan tiba di salah satu desa penyangga TNGC yakni Desa Padang Beunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Bersama dosen kami, langsung diarahkan ke salah satu daerah wisata alam yakni Batu Luhur. Disana, kami disuguhi pemandangan hijau yang menyejukkan ditambah hangatnya kicauan burung.

Sekilas terkait Batu Luhur, merupakan salah satu wisata alam di Desa Padang Beuhar yang dikelola langsung oleh masyarakat sekitar. Pembuatan wisata ini bermula dari masyarakat yang tidak peduli dengan TNGC karena adanya zonasi pada hutan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka, namun TNGC sebagai badan yang berhadapan langsung dengan masyarakat tetap mencoba untuk bekerjasama dengan masyarakat. Meski susah untuk bernegosiasi dengan masyarakat menggunakan segala cara, nampaknya membuahkan hasil yang luar biasa. Ibarat pepatah sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Berbagai penyuluhan yang dilakukan oleh pihak TNGC untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya zonasi pada hutan di sekitar Gunung Ciremai, kini menjadi hasil yang maksimal. Masyarakat menjadi sadar bahwa zonasi hutan sangat penting, meskipun mereka tidak lagi bisa mengakses seluruh kawasan hutan TNGC. Dengan berbekal kepercayaan dan kerjasama yang erat, masyarakat Desa Padang Beuhar membuat tempat wisata alam salah satunya Batu Luhur. Melalui tempat wisata tersebut, masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan alam yang ada di sekitar TNGC tanpa merusak zonasi yang ditetapkan oleh TNGC.

Usai makan siang di Batu Luhur, menggunakan jeep yang dapat disewa dari pihak TNGC, melanjutkan perjalanan menuju Bukit Seribu Bintang. Perjalanan dari Batu Luhur menuju Bukit Seribu Bintang memakan waktu kurang lebih 40 menit dengan sensasi adventure yang luar biasa. Pasalnya, track menuju destinasi tersebut berupa bebatuan dengan view pepohonan hutan yang tinggi. Bagi para adventurer yang belum pernah menaiki jeep dengan track berbatuan, akan sedikit melelahkan karena kita harus menjaga posisi duduk dengan kuat agar tidak terjatuh.

Meski perjalanan 40 menit tersebut cukup melelahkan, semua itu terbayarkan oleh pemandangan indah di Bukit Seribu Bintang. Berbagai landscape pemandangan yang indah mulai dari Gunung Ciremai yang berdiri megah, bukit dan lembah di sisi lain, pemandangan kota Kuningan-Cirebon, hingga Laut Jawa yang terhampar luas nun jauh pun terlihat di atas bukit ini. Setiba di Bukit Seribu Bintang, kami mendirikan lima tenda yang akan diisi masing-masing tenda 4-5 orang. Kegiatan siang menjelang sore itu kami isi dengan menikmati langit biru yang beberapa jam lagi pasti akan berubah menjadi jingga.

Soal Bukit Seribu Bintang, sama dengan Batu Luhur dan tempat wisata alam lainnya di desa penyangga TNGC, tempat ini juga dikelola oleh masyarakat sekitar. Lokasi tersebut didirikan pada tahun 15 Juli 2016. Awal mula berdirinya lokasi tersebut adalah karena adanya beberapa kejadian kebakaran di daerah Bukit Seribu Bintang yang jenis lahannya gersang, bebatuan, dan ditumbuhi banyak rerumputan. Kondisi yang gersang tersebut tentu berbeda dengan ekspektasi yang tergambarkan terkait gunung dengan pohon yang rindang, dingin dan sejuk. Kondisi ini lah yang memicu adanya kebakaran hutan di kawasan Bukit Seribu Bintang dan sejumlah lokasi di sekitar Gunung Ciremai.

Pada tahun 2015, sempat terjadi kebakaran hutan di kawasan TNGC salah satunya Bukit Seribu Bintang. Saat itu, hutan di sekitar Gunung Ciremai telah dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Melihat adanya kebakaran tersebut, masyarakat di desa sekitar Gunung Ciremai tidak peduli dengan peristiwa itu. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sekitar Gunung Ciremai yang semula dapat mengakses hutan dan mengambil hasil hutan disana, tidak diperbolehkan lagi untuk mengambil sumberdaya hutan sejak status hutan di Gunung Ciremai berubah menjadi hutan konservasi. Kejadian tersebut mengakibatkan masyarakat tidak peduli lagi dengan kondisi hutan dan menganggap bahwa hutan di Gunung Ciremai bukan menjadi urusan masyarakat lagi. Mengetahui kondisi tersebut, pihak TNGC berusaha memberi pemahaman kepada masyarakat melalui penyuluhan. Alhasil, masyarakat desa penyangga mulai menyadari pentingnya peduli lingkungan hutan Gunung Ciremai, salah satunya Pak Dodo.

Guna mengatasi kebakaran lahan di Bukit Seribu Bintang, Pak Dodo dan masyarakat membuat sebuah kelompok masyarakat guna menanggulangi kebakaran dengan beberapa cara, yakni pembuatan sekat bakar atau fire break, pembuatan tiga ring wilayah, dan pembuatan tempat wisata. Oleh karena itulah, Bukit Seribu Bintang mulai beroperasi dan menjadi salah satu tempat wisata alam yang sering didatangi oleh wisatawan.

Menjelang maghrib atau sekitar pukul 17.30, langit sore kala itu mulai berubah warna menjadi jingga. Segera kami mencari spot foto terbaik untuk mengabadikan momen bersama indahnya langit sore, sambil menikmati udara malam yang mulai terasa dingin dan menggigil. Sore itu pun, tidak ada satu dari kami yang mandi sore. Pasti sudah tau alasannya, karena air disana benar-benar dingin dan tidak dapat ditahan.

Sunset di Bukit Seribu Bintang. Pict by Fachrina Noor (@fachrinanf)
 Usai menikmati sunset di bukit, kami langsung mengambil air wudlu dan menyegerakan Sholat Maghrib. Asal kalian tau, nikmatnya beribadah sangat terasa karena mukena yang kita pakai dapat melindungi tubuh dari hawa dingin gunung malam itu. Padahal, tubuh pun sudah dibalut dengan celana panjang, kaos panjang, jilbab, lengkap dengan kaos kaki dan sarung tangan yang tebal. Hawa dingin malam itu benar-benar membuat kami kedinginnan dan tetap berdiam diri di mushola sambil menunggu waktu Isya. Oh ya, di Bukit 1000 Bintang ini selalu ada penjaganya dari masyarakat. Fasilitasnya juga lengkap, mulai dari toilet bersih, tempat beribadah, warung makan, dan juga beberapa kamar penginapan bagi wisatawan.

Selesai melaksanakan Sholat Maghrib dan Isya, kami langsung segera berburu makanan yang rupanya sudah disiapkan malam itu oleh pihak TNGC. Dengan menu sederhana berupa nasi, sayur, lengkap dengan lauk pauknya dan jangan sampai tertinggal teh hangat atau kopi hangat, kami menyantap dengan lahap semuanya. Meski sudah mengisi perut dan melakukan kegiatan kecil seperti jalan-jalan, tidak membuat badan ini bisa terlindungi dari hawa dingin yang lebih berani menyelinap ke tubuh kami.

Buat kalian para wisatawan yang berkunjung ke Bukit Seribu Bintang, jangan lupa juga untuk menikmati api unggun bersama beberapa penjaga Bukit Seribu Bintang yang membantu menghangatkan tubuh. Jika tidak, bisa jadi kalian akan tidur dengan kondisi tubuh menggigil dan tidur pun menjadi tidak nyaman. Sambil menikmati api unggun di bukit yang berbatasan langsung dengan hutan Gunung Ciremai, kami menikmati indahnya bintang-bintang yang terhampar luas di langit malam. Benar-benar terlihat jelas bintang malam itu, mungkin ini menjadi alasan kenapa bukit ini disebut Bukit Seribu Bintang.

Gunung Ciremai malam hari
Harus coba api unggun, di tanah lapang terbuka ya!
Keesokan harinya, dengan diantar oleh Pak Dodo dan satu masyarakat yang menjadi penjaga di Bukit Seribu Bintang, kami melakukan pendakian ke bukit di bawah Gunung Ciremai yang lokasinya lebih tinggi dari Bukit Seribu Bintang. Jika kemarin kami menaiki jeep melalui bebatuan, kali ini kami harus berjalan kaki melewati ilalang yang lebih tinggi dari badan kami. Track yang ditempuh mengarahkan kami ke dalam hutan Gunung Ciremai, kemudian melewati beberapa tanjakan berbatu, hingga tiba di satu titik yang lebih tinggi. Dari situ lah kami dapat melihat lagi Bukit Seribu Bintang yang kecil, memandang Gunung Ciremai lebih dekat, dan lembah bebatuan yang ternyata menjadi rute saat pulang.

Picture by Fachrina Noor (@fachrinanf)
Lembah bebatuan jalan pulang
Meski harus melewati pendakian yang cukup susah dan menantang, khususnya bagi kami yang belum terbiasa dalam hal mendaki gunung, akan menjadi pengalaman pertama dalam hidup yang istimewa. Walaupun kami belum sampai di puncak Gunung Ciremai, tapi kami sudah merasakan betapa indahnya Gunung Ciremai beserta seluruh pemandangannya, mulai dari hutan, bukit, lembah, hingga langitnya yang tidak mendung sama sekali. Pak Dodo, sebagai penjaga dari Bukit Seribu Bintang mengatakan, “Gunung Ciremai adalah Ibu Pertiwi. Sudah sepantasnya kita menjaga ini semua dengan baik,”.

Benar kata Pak Dodo, kalau bukan kita yang menjaga Bumi Pertiwi ini, lantas siapa lagi yang harus merawatnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEMANA KAMU BISA JALAN-JALAN DI JAKARTA HANYA DENGAN 100 RIBU?

photo by Nisrina Khoirunnisa diambil di jembatan penyebrangan depan Pasar Baru, Jakarta Pusat Tepat tulisan ini dibuat, wabah virus c...