 |
Jalan-jalan berkedok survei lokasi penelitian |
Pulau Madura, salah satu pulau di luar Pulau Jawa yang masih masuk ke dalam wilayah Jawa Timur. Pulau ini memiliki sukunya sendiri yakni Suku Madura dengan bahasa khasnya yaitu Bahasa Madura. Sering mendengar tentang sate ayam madura? Yap, gue bertemu dengan
the real seller of Madura's satay. Tanggal 17-18 Januari yang lalu gue baru saja melakukan
short trip ke pulau yang satu ini. Kemana saja gue pergi?
Berawal dari usulan dosen pembimbing gue tentang objek penelitian yang berkaitan dengan topik gue yakni Gender, gue langsung mengiyakan Madura untuk menjadi lokasi penelitian gue. Bulan Januari ini, gue bersama Nuril dan Arin--teman bimbingan gue--melakukan penjajagan alias survei lokasi penelitian di Madura selama dua hari. Kami melakukan perjalanan dengan menaiki kereta dari Jakarta (Stasiun Pasar Senen) menuju Surabaya (Stasiun Surabaya Pasar Turi). Harga tiket kereta dari PSE-SBY cukup beragam, tapi karena kami adalah mahasiswa maka harga termurah yang terpilih yakni sebesar Rp 165.000,-.
Perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya dengan kereta memakan waktu +- 12 jam. Fyi, gue belum pernah sama sekali naik kereta se-lama itu. Tapi, Alhamdulillah gue sudah berpengalaman naik bus lebih dari 12 jam. Jadi, menaiki kereta selama 12 jam tidak terlalu menjadi masalah buat gue. Mungkin sedikit tips dari gue buat kalian yang akan melakukan perjalanan panjang, yaitu jangan lupa bawa headset dan charger ya! Selain itu, siapin juga snack yang banyak dan juga buku bacaan yang menarik. Itu manjur kok untuk membunuh waktu selama di kereta, biar ga bosen perjalananmu di dalam kereta selama 12 jam itu hehe..
Kereta berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 14.00 WIB tanggal 16 Januari dan tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi pukul 01.40 WIB tanggal 17 Januari dini hari. Setibanya di stasiun, kami langsung mencari toilet untuk buang hajat dan sekadar cuci muka karena perjalanan dari Surabaya ke Madura masih panjang. Btw, gue akan tinggal di rumah Nuril as a local people di Kabupaten Pamekasan.
Agar bisa ke Madura, kami menaiki bus patas ber-AC dari Surabaya ke Madura. Berdasarkan pengalaman gue kemarin, untuk bisa mendapatkan bus patas ini kami harus naik dari halte tertentu yang dilewati bus patas (maaf banget gue lupa nama haltenya, akan gue revisi setelah gue ingat ya). Kebanyakan bus patas ini menjangkau seluruh kabupaten di Madura, tapi pastikan lagi ya kalau kalian mau naik, tanyakan ke kondekturnya apakah sesuai dengan tujuan kalian atau tidak.
Bus patas yang kami naiki cukup besar modelnya, bahkan saat bagasi bawah dibuka, ada motor pula di dalamnya. Fasilitas busnya juga bagus, ber-AC, tersedia selimut dan benar-benar eksekutif banget! Harga yang kami bayarkan sebesar Rp 60.000,- karena model busnya yang cukup eksekutif. Jadi, perjalanan dini hari dari Surabaya ke Pamekasan tidak menjadi lelah karena naik bus yang eksekutif dan jalanan Madura yang masih sepi menambah semangat supir bus untuk men-100 km/jam-kan kendali busnya. Gue agak deg-degan waktu naik bus itu,
but i give my trust to the driver and Allah..
Nuril bilang waktu yang ditempuh dari Surabaya ke Pamekasan paling lama tiga jam. Tapi, semuanya itu terpatahkan ketika jam 5 pagi kami sudah tiba di rumah Nuril, yang berarti perjalanan hanya ditempuh dua jam saja dari Surabaya. Sangat luar biasa, menegangkan tapi gue suka karena Madura sangat bikin gue tenang. Tidak ada macet sama sekali perjalanannya..
Hari pertama di Madura gue habiskan dengan mencari tempat penelitian yang berkaitan dengan petani garam (objek penelitian Nuril) dan petani rumput laut (objek penelitian gue). Kami menemukan beberapa lokasi di Pamekasan, yang ternyata
pretty close dengan rumahnya Nuril. Oke, gue akan sedikit berbagi cerita ya tentang petani rumput laut di Pamekasan..
Sama dengan informasi di internet, kebanyakan petani rumput laut di Kabupaten Pamekasan ada di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu. Saat gue cek lokasi kemarin, kebetulan para petaninya lagi beres-beres tali yang digunakan untuk merakit rumput lautnya, tapi ada juga beberapa petani yang masih mengurus rumput lautnya di laut. Ajaibnya, cerita dosen gue soal petani ini benar! Perempuan alias istri para petani rumput laut ini ikut ngurus rumput laut hingga ke tengah laut, yang sebenarnya itu bisa dilakukan oleh laki-laki. Setau gue, apa sih yang mereka lakukan di tengah laut dengan rumput laut itu? Mereka sedang (semacam) mengecek tali-tali di rumput laut dan mungkin mengecek rumput lautnya ini sudah oke untuk dipanen atau belum (kurang lebih begitu). Dapat disimpulkan, gue menemukan lokasi pertama yang tepat.
 |
Tempat pengeringan ikan asin dan rumput laut |
 |
Los Pembibitan Rumput Laut
|
Kami menyelesaikan survei lokasi sekitar pukul 14.00 WIB dan berakhir tidur siang di rumah Nuril karena sesungguhnya
jetlag perjalanan panjang masih nempel banget di badan.
Malamnya, Nuril mengajak kami jalan-jalan di pusat kota Pamekasan yang cukup dekat dari rumahnya. Kami diajak melihat tugu di pusat kota yang bernama 'Arek Lancor'. Konsep dan letak tugunya berada di tengah-tengah yang sekitarnya ditutup dengan gerbang, jadi semacam Monas di Jakarta. Usai melihat Tugu Arek Lancor, kami diajak makan sate khas Madura di Niaga Kawasan Sae Salera, yang artinya ya tempat makan dan jajanan ada semuanya disini.
 |
Tugu Arek Lancor |
Kami memesan empat porsi sate yang belum pernah gue lihat sebelumnya, yakni Sate Lalat. Tusuk satenya ada banyak, tapi setiap tusuknya hanya berisi satu iris kecil daging ayam. Bumbu dari sate ini juga agak berbeda dari sate madura biasanya, gue kurang tau juga apa yang bikin beda dari rasa bumbunya. Tapi yang jelas dan tidak terkalahkan adalah kaos garis-garis merah putih yang dikenakan oleh penjual satenya. Benar-benar Madura banget..
 |
Penjual Sate Lalat yang Madura bingits |
 |
Sate Lalat khas Madura |
Keesokan harinya, kami bertiga melanjutkan survei lokasi penelitian di Sumenep. Perjalanan dari Pamekasan ke Sumenep memakan waktu satu jam. Meski terlihat sebentar, tapi ingatlah bahwa jalanan di Madura ini sangat lengang, jadi waktu satu jam itu kami tempuh dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dapat diartikan bahwa, jarak yang kami tempuh pun juga sangat jauh dan melelahkan..
Tapi, semua itu terbayarkan oleh pemandangan pantai dan laut yang menemani perjalanan kita selama di Sumenep. Kami sempat menemukan satu spot cantik dari daerah tinggi di Sumenep yang langsung memperlihatkan luasnya lautan biru bergradasi dengan
background langit biru yang menawan. Selain Jogja, Sumenep juga bikin gue jatuh cinta..
 |
Pemandangan indah dari perkampungan ke laut |
Oh ya, gue juga mencari satu lokasi lagi di Kecamatan Saronggi yang banyak banget para petani rumput laut disana. Kebetulan para petani perempuan sedang mengerjakan pembibitan rumput laut yang akan ditanam kembali, dan gue sempat ngobrol dengan salah satu warga disana. Gue akan bagi lagi kondisi petani di Kecamatan Saronggi ya..
Sama dengan Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Kecamatan Saronggi termasuk dalam daerah penghasil rumput laut yang melimpah di Kabupaten Sumenep. Sepanjang tahun para petaninya menghasilkan rumput laut yang segar untuk dijual ke pengepul. Harganya dibanderol sekitar Rp 6.500 untuk rumput laut basah dan Rp 17.000 untuk rumput laut kering. Oh ya, nama desanya sama, yaitu Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi. Bahkan, produksi rumput laut di daerah ini saat cuaca buruk pun tetap ada yakni mencapai lima kwintal. Begitu kurang lebih kondisi penanaman rumput laut di Kecamatan Saronggi..
 |
Ibu-ibu petani rumput laut di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi |
 |
Rumput laut yang akan ditanam lagi |
Gue sudah menemukan dua lokasi penelitian dan gue berpikir Insha Allah sudah aman. Tinggal memilih dan memilah mana yang akan gue teliti kelak..
Selesai dari Desa Tanjung, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Sumenep. Satu hal yang bikin gue takjub dari Sumenep adalah selain daerahnya yang kaya akan sumber daya laut, wilayah Sumenep ini khususnya di pusat kota pun sudah terbilang maju. Meskipun belum ada
mall atau pusat perbelanjaan yang besar dari investor, tapi keramaian di Kota Sumenep lebih oke dibanding kampung halaman gue sendiri. Satu hal lagi, ada Warunk Upnormal yang lumayan gede dan menjadi tempat singgah kami siang itu untuk istirahat dan makan siang..
Lepas makan siang dan istirahat, kami bertemu dengan Bu Luluk, salah satu teman dari dosen gue yang akan menghantarkan kami ke daerah yang cukup jauh dari pusat kota. Kali ini, kami menemani Arin untuk survei lokasi penelitiannya yang berkaitan dengan perkawinan anak. Menarik bukan?
Kami pergi ke Kecamatan Batang-batang dan Kecamatan Dungkek yang ternyata masih banyak tradisi orang tua mengawinkan anak-anaknya di bawah umur. Hal itu benar-benar terbukti saat kami mendatangi kepala desa di Desa Tamidung, Kecamatan Batang-batang. Rupanya, banyak perkawinan di bawah umur (di bawah 18 tahun) di desa tersebut. Selain di Desa Tamidung, kami juga mengunjungi Desa Candi, Kecamatan Dungkek yang perkawinan anak adalah menjadi informasi umum bagi warga disana. Orang tuanya mengawinkan anak-anak mereka dengan maksud agar tidak terjadi perzinaan pada anak mereka. Meski pemerintah telah melarang perkawinan anak, nyatanya masih banyak fenomena tersebut di Sumenep..
Perjalanan panjang kami berujung pada makan Apen, makanan khas Sumenep. Model dan teksturnya seperti Serabi, tapi dia bukan serabi. Apen lebih lembut dan dia berkuah santan, rasanya manis dan kalau dimakan pas lagi lapar, bikin ketagihan deh pasti..
 |
Ini Apen, seperti Serabi kan? |
Begitulah kurang lebih perjalanan pendek di Madura. Mengesankan dan bikin tegang yang pasti. Bikin tegangnya karena perjalanan ini berkaitan dengan penelitian kami untuk skripsi. Namun, tetap mengesankan karena kami memiliki pengetahuan baru soal sisi lain orang Madura yang berkarakter ramah dengan kemasan yang tegas. Doakan penelitian gue di bulan Maret lancar ya, gue akan bercerita lebih banyak lagi soal Madura nanti saat penelitian gue berjalan..
Untuk ngobrol lebih lanjut, bisa saja chat via DM di @nisrindul. Sekian dan semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar