Agustus 27, 2017

JADI JURNALIS?

Gue bersama jurnalis senior dari METRO TV, NET TV, dan Antara News saat di Sulawesi

Jurnalis? Why not? Tunggu. Gue membantah. Ga segampang itu jadi jurnalis. Kali ini gue mau cerita dan berbagi apa yang udah gue lakukan tentang hal yang berkaitan dengan jadi jurnalis. Ya walaupun ga tau sebenernya gue ini jadi apa ntar. Paling tidak, gue udah melakukan sesuatu hal yang bikin gue suka. Inget post sebelumnya soal passion? Just do it!


Jadi gini, di akhir liburan ini gue lagi ambil job untuk nulis di Gensindo. Buat kalian para pembaca, yang belum kenal dan asing soal Gensindo, gue jelasin di paragraf berikut.

Gensindo bisa dibilang sebuah komunitas yang isinya anak muda, hobinya nulis, dan gila informasi kalo udah dipancing sama editor dengan "Mau nulis tema apa ya buat minggu depan?". Kita sekumpulan orang yang banter-banteran buat kasih pendapat tentang hal-hal yang berbau anak muda. Yang lagi update contohnya ngebahas tentang Youtubers kek, atau hal-hal yang bisa dijadikan motivasi untuk anak muda, kita diskusi semuanya sampe jari pegel. Yang paling mengesankan di Gensindo ini yakni rebutan. Rebutan apa nih? Pastinya rebutan buat nulis di Gensindo. Halaman khusus anak-anak Gensindo hanya bisa terbit seminggu sekali, tepatnya di hari Sabtu dalam rubrik Gensindo. Biasanya ada di halaman 6-7 Koran Sindo. Ini dia yang susahnya. Dalam 2 halaman besar, paling ga ada 5 angle di satu tema per minggu. Satu angle dipegang satu orang. Jadi, paling tidak satu minggu hanya 5 orang yang bisa nulis. Sedangkan anak-anak Gensindo ada 20 lebih. Bisa dibayangkan betapa berebutnya kami kalo soal menulis. Walau tidak semuanya aktif dan hanya itu-itu aja yang sering ungkapin pendapatnya, tapi tidak menutup kemungkinan, 70% kegiatan kami di grup yakni berebut menulis. Seru ga? Menurut gue, seru sih. Hehe

Oke, udah gue jelasin tentang Gensindo. Sekarang, lanjut lagi soal jurnalis. Jadi, kebetulan di akhir minggu liburan semester kali ini, gue dapet job untuk nulis satu tema yakni tentang UKM. Ringan mungkin. Tapi, for your information, tidak seringan itu. Kita harus bisa nentuin TOR atau Term Of Reference tentang angle di tema yang kita ambil, lalu kita konsultasi ke editor kita. Kalau editor setuju, lanjut kita nyari narsum terkait. Kalau belum setuju, ngorek-ngorek TOR lagi deh. Nah, udah kelar disetujuin soal TOR, barulah kita nyari narsum terkait. Belum lagi betapa susahnya nyari narsum yang anti mainstream dan harus dilihat bobot bibitnya. Pantes ga ya kira-kira dia diwawancarain dan sebagainya. Kalau udah berhasil narsum dihubungi, ini sih bagian yang bikin deg-degan menurut gue. Wawancara. 

Gue taroh soal wawancara di paragraf ini ya, karena bakal panjang. Kenapa gue bilang wawancara itu bagian yang bikin gue selalu deg-degan? Ini jawabannya. Yang pertama, gue harus menyusun seluruh pertanyaan. List berbagai pertanyaan yang harus gue ajukan sesuai dengan angle yang akan gue tulis. Selanjutnya, gue harus berani mengatur kata-kata yang akan disampaikan kepada narasumber. Sebagai seorang jurnalis, kita ga boleh cuma 'iya-iya' aja. Kalau narsum bilang A, kita harus mengiyakan, tapi ditimpali juga pendapat kita soal jawaban dia. Istilahnya menanggapi jawabannya. Yang paling susah adalah untuk mengajukan pertanyaan berikutnya, apalagi kalo-kalo jawaban yang dia berikan, ga nyambung dengan pertanyaan kita berikutnya. Paling tidak, kita harus kasih tanggepan dan awalan pertanyaan, yang bisa nyambung dengan apa yang kita tanyakan. Bingung kan lu? Gue apalagi! Ya intinya, wawancara ga segampang itu deh.

Last scene nih. EH belum! Belum last scene. Kelar wawancara, pastinya kita harus nulis naskahnya. Ini juga susah gampang. Kalo narsum kita ngejawabnya beragam, gampang tuh, tinggal masuk-masukin aja kata-kata narsum ke naskah kita. Tapi kalo narsum kita jawabnya pendek, alamat kita menguras otak untuk nambahin kalimat-kalimat yang nyambung, supaya naskah kita panjang dan berbobot pastinya.

Last scenenya adalah revisi. Gue sering revisi. Ya, paling ditanyain kalo ada beberapa kata-kata asing yang editor gue baru denger. Atau kalo ada kata-kata yang typo dan editor gue gak paham. Barulah gue revisi. Revisi yang paling berat sih kalo ada beberapa kalimat yang belum mendalam. Istilahnya, korekan gue ke narasumber belum mendalam dan editor gue merevisi hal itu. Otomatis gue harus gali-gali pertanyaan lagi ke narasumber gue. Nah, tips buat kalian nih barangkali ada info yang lupa belum kekorek, kalian bisa cari di internet tentang hal yang terkait. Beruntungnya lagi kalo ternyata narsum lu itu orang ternama, lebih gampang nyari informasi soal doi. Tapi, kalo emang ga nemu, dengan kalimat yang sopan, alangkah baiknya jika ditanyakan kembali kepada narasumber terkait. Begitulah kurang lebih.

Nah, gue udah cerita panjang lebar nih soal pengalaman gue nulis naskah di Sindo. Buat apa sih Nin? Jadi, gue mau berbagi cerita aja sih, kalo jadi jurnalis ga segampang itu. Mungkin orang cuma ngeliat hasilnya doang. 

"Anjir Nin, tulisan lu udah berapa di koran."
"Wah duitnya banyak ye Nin."
"Gila-gila daebak emang jurnalisqu, panutanqu"

Thankyou sih kalo kalian mengatakan duit gue banyak dan gue bisa jadi panutan kalian. Gue Amin-kan. Tapi ya begitulah cerita di balik pujian kalian. Ga segampang itu ternyata nyari duit. Ga segampang itu juga ternyata bisa naik tulisannya di koran. Tapi, gue cukup bersyukur sudah bisa tergabung di Gensindo ini. Semakin bisa gue mengasah kemampuan menulis gue disini. Lebih-lebih nambah banyak kenalan dan temen. Satu hal yang gue suka saat dapet job buat nulis yakni gue bisa brainstorming dengan orang baru dan berbeda di setiap tema. Seru aja menurut gue, bisa brainstorming terkait hal yang lu suka. Bener ga?

Oh ya soal jurnalis. Gue mau cerita juga satu pengalaman lagi. Gue waktu itu pernah diutus oleh editor gue untuk liputan di Sulawesi. Ajegile, ini liputan pertama gue, dan ke luar Pulau Jawa! Bahkan gue denger-denger, jarang juga anak Gensindo yang disuruh liputan sejauh ini. Gue sangat bersyukur saat itu! Lebih bersyukurnya lagi, gue bisa ketemu sama jurnalis asli yang jauh lebih senior dan ada juga travel photography, Mas Barry Kusuma. Oh ya, buat liputan yang ke Sulawesi ini, kalian bisa baca hasil liputan gue di blog ini, di label "Travelling" atau "Holiday" ya! Nah, yang di Bitung itu, hasil liputan gue.

Yang bakal gue ceritain soal liputan di Sulawesi ini yaitu kekaguman gue sama jurnalis senior yang pergi sama gue waktu itu. Ada dari Metro TV, NET TV, Jakarta Post, dan Antara News. Gila ga sih gue? Gila emang! Semenjak saat itu gue semakin tergila-gila dengan jurnalistik. Kenapa gitu? Ya, berkat mereka sih, gue jadi paham gimana rasanya dunia jurnalis itu berjalan. Mereka capek pas liputan, but sure mereka menikmatinya. Itu semacam, lu bekerja tanpa tekanan dan mencintai pekerjaan lu apa adanya. Itu yang bikin gue kagum. Yaa, apalagi kalo kerjaannya jalan-jalan gini, ya ga? Hehe

Bahkan, waktu gue di Sulawesi. Para jurnalis senior itu berceloteh gini ke gue.

"Oh, dek Nina masih semester 3? Yaaa masih bisa mikir-mikir lagi buat jadi jurnalis."
"Kamu masih muda banget udah jadi jurnalis!"
"Dek Nina serius mau lanjut jadi jurnalis?"
"Nin, mending jadi travel blogger!" - Mas Barry Kusuma

Gimana? Disaat gue pengen banget jadi mereka, mereka mengatakan hal tersebut. HAHA. So big laugh! Gue ketawa dan senyum aja waktu itu. Tapi yang pasti, jadi apa gue kelak....

Semoga, pekerjaan gue ga jauh-jauh amat dari kesukaan gue sekarang ini. Apalagi, kehidupan gue di kampus ya lagi-lagi soal nulis. Kerjaan kuliah juga bikin laporan bejibun. Itu nulis kan ya? Walaupun kadang gue kurang setuju kalo gue harus menekuni pekerjaan jurnalis ini. Sooo, guys! Satu hal yang bisa dipetik adalah, apapun yang kita lakukan kalo kita serius dan konsisten dengan hal yang saat ini dilakukan, percaya, rejekinya ga jauh-jauh amat. Yang penting, pake hati dan niat plus konsisten. Gue kasih quotes tambahan dari Mas Barry

"Buatlah karya terbaikmu dan biarkanlah orang yang menilai, ketika kamu konsisten membuat konten yang bagus duit itu akan datang dengan sendirinya" - Mas Barry Kusuma, Travel Photography ternama di Indonesia yang sudah melalang buana di jagad raya.

Jadi, bukan berarti gue mengharuskan kalian untuk jadi jurnalis juga. Engga kok. Jurnalis ini kan perspektif gue. Kita sama-sama ambil positifnya aja, konsisten aja. Semoga mendapatkan yang terbaik atas restu Allah, dan pastinya bisa membanggakan kedua orang tua kelak. Amin.

KEMANA KAMU BISA JALAN-JALAN DI JAKARTA HANYA DENGAN 100 RIBU?

photo by Nisrina Khoirunnisa diambil di jembatan penyebrangan depan Pasar Baru, Jakarta Pusat Tepat tulisan ini dibuat, wabah virus c...